Laman

Kamis, 03 Februari 2011

proposal skripsi part 2

PROPOSAL SKRIPSI (Revisi I)

Persepsi Orang Tua dan Guru terhadap Pendidikan Seksualitas pada Anak
(Studi kasus di SDN Labschool Jakarta Timur Kelas V dan VI)

I.                   Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang di daerah asia tenggara. Perkembangan ini dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya adalah bidang sosial ekonomi, teknologi serta informasi dan telekomunikasi. Perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia tidak sepenuhnya membawa dampak yang positif, apalagi untuk generasi muda saat ini. Pergaulan bebas dan seks bebas saat ini menjadi ancaman bagi generasi muda. Polusi pornografi tampaknya tengah meracuni generasi digital saat ini melalui HP, internet, dan gadget digital lainnya.
Berdasarkan catatan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, Indonesia mencatat rekor sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi terhadap anak-anak (www.bkkbn.go.id). Yayasan Kita dan Buah Hati melansir data sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa Sekolah Dasar (SD) kelas 4-6 mengaku pernah mengakses informasi pornografi. Sebagian besar anak-anak belia itu melihat pornografi melalui media komik. Data mengejutkan tersebut terungkap dari hasil survei LSM di sejumlah SD di Indonesia sejak Januari 2008 hingga Februari 2010. Hasil survei menunjukkan, anak-anak belia tersebut selama ini mengakses pornografi melalui komik (24 persen), situs internet (22 persen), permainan (17 persen), film/ TV (12 persen), telepon genggam (6 persen), majalah (6 persen), dan koran (5 persen). Para pelajar SD itu umumnya melihat pornografi karena alasan iseng sebesar 21 persen, penasaran 18 persen, terbawa teman 9 persen, serta takut dibilang kurang pergaulan 3 persen. (Lintas Berita, 13 Juni 2010)
Beragam informasi yang diterima anak-anak saat ini harus dilawan dengan informasi yang benar. Menghadapi masa depannya, pengetahuan dan informasi tentang seks sangat penting diketahui oleh generasi muda. Akan tetapi, anak-anak dan remaja rentan terhadap kesalahan informasi tentang pengetahuan seks. Jika tidak mendapatkan pendidikan seks yang benar, mereka akan percaya akan mitos-mitos tentang seks yang tidak benar. Informasi tentang seks sebaiknya didapatkan dari orangtua, guru atau sumber informasi yang benar.
Yang terjadi di Indonesia adalah anak-anak tidak mendapat pendidikan seks yang benar dan cukup. Mereka justru mendapat informasi tentang seks dari teman sebaya, internet, dan majalah. Padahal, sumber informasi tersebut belum tentu benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Indonesia memang tidak mungkin dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan negara-negara Amerika Serikat dalam hal perkembangan teknologi dan informasi kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi. Tetapi, jika yang menjadi kompetitornya adalah Malaysia yang sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan Filipina dengan Developing Programme and Life Education, Indonesia masih amat tertinggal. Bahkan di Malaysia, mulai tahun 2011 pendidikan seks akan diberikan sejak anak-anak masuk SD.
Di Indonesia, program Kesehatan Reproduksi Remaja relatif baru dilaksanakan secara nasional sejak tahun 2000. Banyak kegiatan yang ditujukan untuk remaja atau keluarga remaja telah dilakukan oleh PKBI melalui pelaksanaannya langsung maupun melalui Youth Center atau Pusat Informasi dan Pelayanan Remaja. Sejak akhir tahun 2002, PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), UNFPA (United Nations Population Fund), dan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) telah mulai mengembangkan modul penyampaian informasi tentang kesehatan reproduksi yang sesuai untuk masa pra remaja usia 10-14 tahun. (Laurike Moeliono, 2003)
Dalam Simposium Nasional Pentingnya Pendidikan Seks untuk Remaja, tahun 2002 yang lalu disebutkan juga bahwa tantangan dalam pelaksanaan program-program KRR di Indonesia, antara lain tidak adanya aturan hukum yang mendukung. Undang-Undang Kependudukan No.10 tahun 1992 masih menyebutkan melarang pemberian informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah. Pemberian pendidikan atau informasi mengenai masalah seksualitas masih menjadi pro dan kontra di masyarakat Indonesia.
Pandangan yang kurang setuju dengan pendidikan seks mengkhawatirkan bahwa pendidikan seks yang diberikan pada anak akan mendorong mereka melakukan hubungan seks lebih dini dan melakukan promiskuitas (serba boleh). Sementara pandangan yang setuju pada pendidikan seks beranggapan dengan semakin dini mereka mendapatkan informasi mereka akan lebih siap menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mampu menghindarkan diri dari kemungkinan yang bisa terjadi, misalnya tertular PMS (Penyakit Menular Seksual). (Safrina Yenni, 2000)
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyatakan tidak setuju dengan keinginan sejumlah pihak agar diberikan pendidikan seks di sekolah kepada murid, terkait dengan maraknya peredaran film porno yang diduga dilakukan oleh sejumlah artis. (republika.co.id, 9 Juni 2010)
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno, butuh pendidikan seks yang tepat untuk menekan perilaku seks bebas di kalangan remaja. Menurut Ahmad Putra Batubara, salah satu kandidat ketua umum PP IPM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) 2010-2012, pendidikan seks perlu diberikan sejak dini, kalau perlu sejak sekolah dasar. Tentunya tidak diberikan secara vulgar, tetapi lebih berkaitan dengan materi kesehatan reproduksi. Sehingga bila nanti sudah memasuki masa remaja, keingintahuan anak-anak akan seks bisa lebih terarah dan tidak mengarah kepada tindakan negatif. (republika.co.id, 5 Juli 2010)
Di Indonesia sendiri, orang tua merasa tabu untuk memberikan pendidikan seks atau sekedar membicarakan masalah seksual kepada anak-anaknya. Orang tua cenderung menganggap bahwa pada saatnya anak akan mengerti sendiri tentang seksualitas, yang diperoleh di bangku sekolah. Orang tua yang tidak mengerti tentang pendidikan seksualitas karena tingkat sosial-ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah tentunya butuh bantuan dari sekolah (dalam hal ini guru) untuk menyampaikan pengetahuan seksual kepada anak-anaknya. Sayangnya, di sekolah tidak ada kurikulum yang membidangi masalah pendidikan seksualitas ini.
Beranjak dari pro kontra masyarakat mengenai pendidikan seksualitas pada anak, penulis bermaksud melakukan penelitian tentang “Persepsi Orang Tua dan Guru terhadap Pendidikan Seksualitas pada Anak”. Penelitian ini penting untuk dilakukan, agar dapat memberi masukan kepada pemerintah mengenai bagaimana persepsi orang tua dan guru saat ini tentang pendidikan seksualitas pada anak. Jika persepsinya positif, diharapkan pendidikan seksualitas dapat memiliki kurikulum tersendiri di sekolah.

II.                Identifikasi dan Batasan Masalah
Pada dasarnya rasa ingin tahu tentang masalah seksual cukup umum di kalangan anak usia delapan tahun. Sekitar 40 persen anak berusia antara enam dan sembilan pernah melakukan eksplorasi seksual. Usia 10-16 tahun merupakan masa normal terjadinya menarche (menstruasi pertama), dan sebagian anak perempuan bahkan mulai lebih awal. Meningkatnya hormon seks (estrogen pada anak perempuan dan testosteron pada anak laki-laki) akan memainkan peran yang penting dalam kehidupan kebanyakan anak usia 11 tahun yang sudah menunjukkan tanda pubertas. (Ensiklopedia Perkembangan Anak, 2010)
Akan tetapi untuk menjawab rasa ingin tahu tentang masalah seksual tersebut anak tidak mendapatkan informasi formal yang memadai baik dari orang tua, sekolah maupun petugas kesehatan sehingga mereka mencari sumber informasi yang informal. Orang tua masih menutup-nutupi dirinya untuk berbicara tentang seks, di sisi lain informasi informal semakin mudah diperoleh dengan pesatnya teknologi informasi.
Kemungkinan orang tua masih memiliki persepsi negatif terhadap pendidikan seks pada anak, sehingga orang tua tidak memberikan pendidikan seks pada anaknya. Tidak ada perilaku tertentu tanpa persepsi, dimana perilaku adalah hasil persepsi masa lalu dan permulaan persepsi berikutnya (Kemp, Carroher, Szumki dan Card, 1975).
Keterbatasan waktu, biaya, dan kemampuan menjadikan penelitian ini hanya dilakukan pada orang tua dan guru di SDN IKIP/ Labschool Pagi Jakarta Timur kelas V dan VI. SDN IKIP/ Labschool Pagi yang terletak di Jl. Pemuda Kompleks UNJ merupakan SDN DKI bertaraf internasional menurut buku PT PPDB DKI 2009/2010.
Penelitian ini dibatasi hanya pada orang tua dan guru anak kelas V dan VI SD. Pemilihan orang tua dan guru sebagai objek penelitian dikarenakan orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak dalam masalah pendidikan (termasuk pendidikan seksualitas). Dan guru menjadi pihak yang berperan memberikan pendidikan seksualitas pada anak didiknya setelah orang tua.

III.             Perumusan Masalah
1.   Bagaimanakah persepsi orang tua dan guru terhadap pendidikan seksualitas pada anak?
2.   Apakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua dan guru tersebut?

IV.             Tujuan Penelitian
1.      Memberikan gambaran persepsi orangtua dan guru terhadap pendidikan seksualitas pada anak
2.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi orangtua dan guru terhadap pendidikan seksualitas pada anak
3.      Menentukan bagaimana karakteristik sosial-demografi orangtua mempengaruhi persepsi terhadap pendidikan seksualitas pada anak
4.      Menentukan bagaimana karakteristik sosial-demografi guru mempengaruhi persepsi terhadap pendidikan seksualitas pada anak


V.                   Manfaat Penelitian
§  Bagi dunia ilmu pengetahuan :
      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan tambahan atau masukan pengetahuan dan informasi serta pengembangan untuk penelitian selanjutnya.
§  Bagi BPS :
      Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada BPS agar memperluas survei tentang kesehatan reproduksi tidak hanya pada remaja saja, tetapi pada anak-anak juga. Karena kesehatan reproduksi pada anak akan memengaruhi kesehatan reproduksi saat remaja.
§  Bagi masyarakat :
      Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat pada umumnya dan orang tua dan guru pada khususnya bahwa pendidikan seksualitas penting bagi anak, dan sikap tabu harus segera dihilangkan. Dan menambah pengetahuan masyarakat mengenai gambaran persepsi orang tua dan guru terhadap pendidikan seksualitas pada anak.


VI.                Kajian Teori
1.      Pengertian Persepsi
            Dalam Kamus Istilah Kunci Psikologi (1989), dijelaskan bahwa persepsi (perception) adalah suatu proses dimana sensasi, dan informasi yang diterima melalui panca indera, diubah menjadi kesatuan yang teratur, rapi, dan berarti (yaitu objek-objek yang dapat dipersepsi). Persepsi diperlukan agar seseorang dapat mengalami keteraturan dan bukannya keadaan tidak teratur sehingga Covey (1997) mengibaratkan persepsi sebagai sebuah peta dimana seseorang akan bertindak berdasar peta tersebut.
Mangkunegara (dalam Arindita, 2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi mecakup penafsiran obyek, penerimaan stimulus (Input), pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.
Dalam psikologi kontemporer, persepsi secara umum diperlakukan sebagai variabel campur tangan (intervening variable), yang dipengaruhi oleh faktor-faktor stimulus dan faktor-faktor yang ada pada subjek yang menghadapi stimulus tersebut. Oleh sebab itu, persepsi seseorang terhadap suatu benda atau realitas belum tentu sesuai dengan benda atau realitas yang sesungguhnya. Demikian juga, pribadi-pribadi yang berbeda akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda pula.

2.      Proses Terjadinya Persepsi
Alport (dalam Mar’at, 1991) proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.
Walgito (dalam Hamka, 2002) menyatakan bahwa terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut:
1)      Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia.
2)      Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris.
3)      Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor.
4)      Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan, bahwa proses persepsi melalui tiga tahap, yaitu:
1)      Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial melalui alat indera manusia, yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada.
2)      Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses seleksi serta pengorganisasian informasi.
3)      Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam menanggapi lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, serta pengetahuan individu.
Menurut Newcomb (dalam Arindita, 2003), ada beberapa sifat yang menyertai proses persepsi, yaitu:
1)      Konstansi (menetap): Dimana individu mempersepsikan seseorang sebagai orang itu sendiri walaupun perilaku yang ditampilkan berbeda-beda.
2)      Selektif: persepsi dipengaruhi oleh keadaan psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam waktu yang bersamaan dan keterbatasan kemampuan perseptor dalam mengelola dan menyerap informasi tersebut, sehingga hanya informasi tertentu saja yang diterima dan diserap.
3)      Proses organisasi yang selektif: beberapa kumpulan informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola menurut cara yang berbeda-beda.

3.      Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi
Steers (1984) dalam Kasmiati (1994) menjelaskan bahwa persepsi bukanlah kehendak yang dipaksakan, untuk menggambarkan sesuatu yang unik, yang dipengaruhi oleh kebutuhan, tujuan, nilai, dan pengertian.
Muchlas (1998) dan Robbins (1996) dalam Koedoeboen (2000) mengemukakan bahwa proses pembentukan persepsi dipengaruhi oleh faktor perhatian dari luar (faktor eksternal) dan faktor dari dalam (internal set factors). Faktor perhatian dari luar meliputi lingkungan luar seperti intensitas, ukuran, kontras (keberlawanan), repetisi (pengulangan), gerakan, keterbaruan, dan keterbiasaan. Sedangkan faktor dari dalam (internal set factors), yaitu faktor dari dalam diri seseorang yang memiliki proses persepsi antara lain pendalaman atau proses belajar (learning), motivasi, dan kepribadian.
Senada dengan pernyataan di atas, Thoha (1992) dalam Kasmiati (1994) memaparkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan persepsi, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa proses pemahaman sesuatu termasuk didalamnya system nilai, tujuan, kepercayaan, dan tanggapan-tanggapannya terhadap hasil yang dicapai. Faktor eksternal berupa keadaan lingkungan.
Oskamp (dalam Hamka, 2002) membagi empat karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang terdapat dalam persepsi, yaitu:
a. Faktor-faktor ciri dari objek stimulus.
b. Faktor-faktor pribadi seperti intelegensi, minat. 
c. Faktor-faktor pengaruh kelompok. 
d. Faktor-faktor perbedaan latar belakang kultural.
Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural. Faktor fungsional ialah faktor-faktor yang bersifat personal. Misalnya kebutuhan individu, usia, pengalaman masa lalu, kepribadian,jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat subjektif. Faktor struktural adalah faktor di luar individu, misalnya lingkungan, budaya, dan norma sosial sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam mempersepsikan sesuatu.
Menurut Twikromo dan kawan-kawan dalam Budiman (1996), persepsi sebenarnya merupakan konsepsi adaptif manusia terhadap lingkungannya. Atau dengan kata lain persepsi merupakan konklusi dari pemahaman dan tanggapan manusia terhadap kenyataan sejarah, lingkungan alam dan budaya, ataupun gejala sosial yang terjadi. Dengan demikian, persepsi terbentuk melalui pengalaman dan berbagai proses dalam usaha manusia dalam menjalin hubungannya dengan lingkungannya.
Walgito (1981) mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi persepsi sosial seseorang adalah:
1.      Keadaan stimulus, khususnya stimulus pribadi
2.      Keadaan sosial dimana stimulus itu dijumpai
3.      Keadaan individu yang mengadakan persepsi
Persepsi diawali dengan proses piker/kognisi (Thaha, 1999). Hal ini sejalan dengan Miyashita dan Hayashi (2000) yang menyatakan bahwa persepsi dimulai dengan proses kognitif (pengamatan) yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, dan harapan. Thaha juga menjelaskan kognisi sendiri dipengaruhi oleh faktor internal (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengalaman, pengetahuan, motivasi, dan tujuan) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, fisik, dan sosial budaya).
Sarwono (1991) juga menyebutkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Faktor yang dapat memengaruhi persepsi adalah umur (Munn, 1974), pendapatan (Malickson dan Nason, 1977) dan jenis kelamin (Powell, 1963). Walgito (2002) menyebutkan bahwa karakteristik individu yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi.

 1.      Orang tua
Menurut Nurhayati (2007), tanggung jawab orang tua tidak hanya mencakup atau terbatasi pada kebutuhan materi saja, tetapi sesungguhnya mencakup juga kepada seluruh aspek kehidupan anaknya, termasuk di dalamnya aspek pendidikan seksual. Di mana pemahaman dan pemilihan metode pendidikan seksual yang tepat akan mengantarkan anak menjadi insan yang dapat menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang terlarang dan sadar akan ancaman dan peringatan dari perbuatan zina serta memiliki pegangan agama yang jelas.
Keluarga dalam hal ini orang tua merupakan institusi pertama dimana seseorang akan mengenal bermacam-macam nilai sosial yang ada. Keluarga, akan menjadi tempat berlangsungnya proses sosialisasi  dan internalisasi nilai dan beragam keterampilan dasar dalam hidup seseorang. Sehingga jika proses sosialisasi dan internalisasi nilai berlangsung dengan baik maka kepribadian anak akan menjadi mantap.
Dalam pemberian pendidikan, pihak yang sangat berperan penting adalah orang tua. Betapa tidak, setiap orang tua menginginkan pendidikan yang bermutu untuk setiap buah hatinya. jadi selayaknyalah orang tua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra-putrinya dalam menjalani tahapan-tahapan perkembangan, baik dari segi fisik, emosional, intelektual, sosial maupun seksual. Hingga saat ini banyak hal yang telah diupayakan oleh orang tua untuk memenuhi pendidikan anak, mulai dari menyekolahkan mereka ke sekolah-sekolah unggulan yang bertujuan untuk membentuk kepribadian anak yang baik, bermutu, dan berprestasi.

2.      Guru
Institusí kedua yang ikut berperan dalam membentuk kepribadian dan perilaku anak ádalah sekolah. Institusi sekolah merupakan tempat terjadinya transformasi ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Di samping itu, dalam sekolah pula akan terjadi proses pewarisan budaya dan penyebaran budaya secara sistematis dan terprogram.
Oleh karena fungsi sekolah sebagai tempat terjadinya transformasi pengetahuan, teknologi dan nilai maka keberadaannya menjadi sangat penting di tengah masyarakat. Karena proses pewarisan, transformasi maupun proses penyebaran beragam pengetahuan, teknologi, budaya berlangsung secara sistematis dan terprogram maka pengalaman yang akan diperoleh oleh anak juga akan relatif sistematis, terprogram dan terukur.
Dengan demikian, untuk memberikan pemahaman kepada anak tentang seksualitas maupun reproduksi yang sehat itu benar, maka peran sekolah sangat penting dan strategis. Karena pengetahuan yang akan diperoleh anak sudah seragam, sistematis. Namun, masalahnya adalah pada bagaimana teknik agar pemahaman tentang seksualitas dan reproduksi sehat itu tidak justru menstimulasi siswa untuk coba-coba.
Pada dasarnya bahwa pendidikan seks dan juga reproduksi sehat perlu dipahami oleh semua anak dan remaja. Karena melalui sekolah, pemahaman tentang seksualitas dan reproduksi yang sehat akan lebih jelas, sistematis dan terprogram. Pendidikan seks tidak hanya terkait dengan masalah alat kelamin dan hubungan seksual semata, namun juga menyangkut pola hubungan antara lawan jenis,  norma maupun penyakit yang mungkin timbul akibat hubungan seksual yang tidak benar. Dalam hal ini guru sebagai bagian dalam sekolah berperan memberikan informasi mengenai seks.

3.      Pendidikan seks
Pendidikan seks dapat diartikan sebagai penerangan tentang anatomi fisiologi seks manusia, bahaya penyakit kelamin. Pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang arti, fungsi dan tujuan seks, sehingga ia dapat menyalurkan secara baik, benar dan legal. Pendidikan seks dapat dibedakan antara sex instruction dan education in sexuality. Sex instruction ialah penerangan mengenai anatomi, seperti pertumbuhan rambut pada ketiak, dan mengenai biologi dari reproduksi, yaitu proses berkembang biak melalui hubungan untuk mempertahankan jenisnya. Termasuk didalamnya pembinaan keluarga dan metode kontrasepsi dalam mencegah terjadinya kehamilan. Education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan lainnya yang di butuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya sendiri sebagai individual seksual, serta mengadakan hubungan interpersonal yang baik.
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak di harapkan, seperti kehamilan yang tidak di rencanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa (Sarwono, 2007).
Pendidikan seks merupakan upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis dan psikososial sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan manusia dengan menanamkan nilai moral, etika dan komitmen agama (Thera, 2000).
Menurut Kepala Bagian Andrologi FK Universitas Udayana, Prof. Wimpie, pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas, suatu pendidikan mengenai seksualitas dalam arti luas. Seksualitas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, yaitu aspek biologi, orientasi, nilai sosiokultur dan moral, serta perilaku.
Menurut DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhruddin SMU Labscool Jakarta, pendidikan seksual adalah perlakuan sadar dan sistematik di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang telah diterapkan oleh masyarakat.

4.      Pendidikan seks sejak dini
Secara garis besar, Boyke membagi pendidikan seks bagi anak berdasarkan usia ke dalam empat tahap yakni usia 1-4 tahun, usia 5-7 tahun, 8-10 tahun dan usia 10-12 tahun.
Pada usia 1 sampai 4 tahun, orangtua disarankan mulai memperkenalkan anatomi tubuh, termasuk alat genital. Perlu juga ditekankan pada anak bahwa setiap orang adalah ciptaan Tuhan yang unik dan berbeda satu sama lain. ”Kenalkan, ini mata, ini kaki, ini vagina”. Itu tidak apa-apa. Terangkan bahwa anak laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan berbeda, masing-masing dengan keunikannya sendiri.
Sedangkan pada usia 5 sampai 7 tahun, rasa ingin tahu anak tentang aspek seksual biasanya meningkat. Mereka akan menanyakan kenapa temannya memiliki organ-organ yang berbeda dengan dirinya sendiri. Rasa ingin tahu itu merupakan hal yang wajar. Karena itu, orang tua diharapkan bersikap sabar dan komunikatif, menjelaskan hal-hal yang ingin diketahui anak. Terangkan, bedanya anak laki-laki dan perempuan. Orang tua harus dengan sabar memberikan penjelasan pada anak.
Selanjutnya, pada usia 8 sampai 10 tahun, anak sudah mampu membedakan dan mengenali hubungan sebab akibat. Pada fase ini, orang tua sudah bisa menerangkan secara sederhana proses reproduksi, misalnya tentang sel telur dan sperma yang jika bertemu akan membentuk bayi.
Pada usia 11 sampai 13 tahun, anak sudah mulai memasuki pubertas. Ia mulai mengalami perubahan fisik, dan mulai tertarik pada lawan jenisnya. Ia juga sedang giat mengeksplorasi diri. Anak perempuan, misalnya, akan mulai mencoba-coba alat make up ibunya. Pada tahap inilah, menurut Boyke, peran orang tua amat sangat penting. Orang tua harus menerima perubahan diri anaknya sebagai bagian yang wajar dari pertumbuhan seorang anak-anak menuju tahap dewasa dan tidak memandangnya sebagai ketidakpantasan atau hal yang perlu disangkal.

I.                   Penelitian Terkait
Penelitian yang dilakukan Devia Putra Aditya berjudul “Gambaran Pengetahuan Orang Tua tentang Pendidikan Seks pada Anak usia 4-6 Tahun di TK Dharma Wanita Candra Purnamasari, Kediri, 2009” menunjukkan bahwa gambaran pengetahuan orang tua cukup baik. Dilihat dari beberapa variabel, yaitu (1) pengertian pendidikan seks (48,6%), (2) tujuan pendidikan seks (68,6%), (3) manfaat pendidikan seks (54%), (4) materi pendidikan seks (43%).
Tesis yang ditulis oleh Tunjung Sri Yulianti pada tahun 2010 yang berjudul “Persepsi Orangtua Murid terhadap Pendidikan Seksual Anak Usia 4-6 Tahun (Studi pada orangtua murid di TK Bakti XI dan TK SJ Hanum Surakarta)” yang merupakan penelitian kualitatif deskriptif menunjukkan bahwa sebagian orangtua belum mempunyai persepsi yang benar tentang pendidikan seksual. Pengetahuan, pendidikan, pemahaman tentang perkembangan seksual anak, agama, norma masyarakat dan interaksi dalam keluarga mempengaruhi persepsi orangtua. Persepsi yang benar tentang pendidikan seksual akan membantu orangtua memberikan pendidikan seksual yang tepat.
Penelitian Masitha Fitria Sari yang berjudul “Faktor dalam Pemberian Pendidikan Seks Remaja dalam Keluarga (Studi di Kecamatan Lumajang Tahun 2007)” mengamati beberapa variabel, antara lain (1) tingkat pendidikan orang tua, (2) tingkat pengetahuan orang tua mengenai materi pendidikan seks remaja, (3) keterbukaan komunikasi antara orang tua dengan remaja tentang masalah seks, (4) agama, (5) suku, (6) persepsi orang tua tentang pemberian pendidikan seks remaja menurut agama, dan (7) pemberian pendidikan seks remaja dalam keluarga. Hasil dari penelitian ini apabila dilihat dari materi yang diberikan dan metode yang dilakukan dalam pemberian pendidikan seks dalam keluarga, sebagian besar responden (67%) tidak pernah memberikan pendidikan seks kepada remaja dalam keluarga. Responden yang memiliki keterbukaan dalam membicarakan masalah seks dengan remaja sebanyak 41 orang (41%) dan hanya keterbukaan komunikasi orang tua tentang masalah seks kepada remaja yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemberian pendidikan seks remaja dalam keluarga (OR = 14,93). Penelitian ini menggunakan uji Multiple Logistic Regression.
Dari hasil laporan penelitian deskriptif oleh Evi Karota-Bukit dan Yesi Ariani yang berjudul “Persepsi Orangtua terhadap Pendidikan Seks bagi Remaja di Lingkungan XVII Kelurahan Tanjung Rejo, Medan” diketahui bahwa mayoritas responden memiliki persepsi positif terhadap definisi dan tujuan pendidikan seks (96,7%), bimbingan dalam pendidikan seks (76,6%), isi pendidikan seks (90%) dan persepsi terhadap pendidikan seks menurut nilai, pengalaman dan agama (60%). Selanjutnya secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan 86,7% orangtua di Lingkungan XVII Kelurahan Tanjung Rejo, Medan memiliki persepsi positif tentang pendidikan seks bagi remaja. Dari hasil penelitian ini dapat diinterpretasikan bahwa orangtua mendukung pendidikan seks bagi remaja.
Persepsi orang tua terhadap pendidikan seks dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman orang tua (Darwinsyah, 2003; Habsyah, 1996). Banyak pandangan masyarakat awam tentang seks adalah sesuatu yang cenderung negatif dan tabu untuk dibicarakan kepada putra-putri mereka. Hal ini dimungkinkan karena mereka tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang pendidikan seks remaja. Pendapat ini dibenarkan oleh Rahmat (1992) dan Habsyah (1996) yang mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Di samping itu faktor nilai dan budaya dapat mempengaruhi persepsi responden terhadap pendidikan seks seperti yang dikemukakan oleh PKBI (2003). Pandangan orang tua yang sempit dalam memahami agama terhadap pendidikan seks juga dapat mempengaruhi persepsi negatif pada orang tua tersebut (Widjanarko, 1999).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar